Untukmu Manusia Mulia, Hanya Bisa Kupersembahkan Gelisah

Membuka lagi lembaran-lembaran Terjemah Rasa/ Antara Aku, Hamba dan Cinta. Di bulan maulid ini setiap sore maupun malam ku dengar lantunan barjanji memuji, mengenang dan menghormat untuk sang manusia mulia. Tapi peristiwa semalam tentang ujian kelapangan atas perputaran kemenangan  sungguh sangat  menyesakkan dan menggelisahkan semua insan yang terketuk nurani kemanusiaannya.

Duhai sang manusia mulia, sungguh kami sangat jauh darimu, tapi kami yakin cintamu yang tak terbatas dan tak bertepi. Dan tragedi semalam semoga menyadarkan kami akan tuntunanmu untuk berkasih sayang, menjadi rahmat bagi semesta, bukan jadi susah dan duka.  

Allahumma Shalli Ala Sayyidina Muhammad

Kuberanikan diri menyapamu, wahai rasul mulia

Kupaksa bibir ini untuk tak henti mengucap namamu dan kupaksa tubuh ini untuk setiap waktu mewadahi segala teladanmu. Kadang kusombongkan keberadaanku sebagai jelmaan kemuliaanmu. Namun nyatanya saat aku berkaca, hanya kulihat kekejian dalam tatap mataku; hanya kubaca kebodohan dalam kerut wajahku; hanya kukenali seringai kelicikan dari sudut bibirku; hanya kurasakan hembus kebuasan dari hidungku; dan hanya kudengar suara kemunafikan dari mulutku. Kuku kaki dan tanganku memanjang-menajam, siap mencabik dan memburu siapapun yang coba mengusik kebenaran palsuku.

Betapa tak berharga diri ini, wahai utusan terkasih

Betapa ingin diri lemah ini mencintaimu setulus hati, namun egoku yang menjulang tinggi, dan nafsuku yang tak akrab dengan yang sejati, mendindingi hati; hingga rasa yang ingin kubangun itu hanya menuntut pamrih, hasrat duniawi, dan keuntungan materi; meski sesekali kukemas dalam bahasa ukhrawi.

Betapa naif diri ini, wahai nabi ummy yang lembut hati

Harusnya aku tak tenang, atas segala kepongahan yang kupertunjukkan; saat merasa begitu penting dan berharga; saat merasa lebih bernilai dibanding manusia lainnya. Harusnya aku malu, saat merasa bahwa hanya akulah—dan yang seperti akulah—satu-satunya yang akan mendapat cinta dan ridha-Nya. Harusnya aku gelisah, atas segala alpa dan dosa yang selalu kuanggap manusiawi dan biasa. Harusnya aku resah, atas segala perendahan martabat manusia dan semesta, hingga lahir aneka pertikaian tiada guna dan bencana tiada terduga. Harusnya aku cemas, atas segala kerusakan dan masalah demi masalah, yang susul-menyusul kurangkai mewarnai hari-hari.

Betapa diri ini bebal, wahai sosok panutan

Ternyata tak mampu kupilah dan kupilih, mana emas mana kotoran. Selalu kucoba hadirkan dirimu dalam hatiku, namun betapa rendah adabku: di dalamnya kujejerkan citramu bersanding dengan beragam kotoran gelap kesombongan, aneka duri kesesatan, rupa-rupa topeng kepalsuan, dan tak terhitung perangkat kemaksiatan. Lalu nilaimu menjadi samar tak terkira, bahkan tak lebih berharga dibanding deretan berhala dunia. Lalu hadirmu menjadi semu tak terasa, bahkan tak lebih nyata dibanding gagasan-gagasan khayali perumit dunia. 

Betapa rendahnya kelakuanku, wahai pelita kebenaran

Kutabrak segala pesanmu, sambil tak malu mengharap syafaatmu. Kukhianati tuntunanmu, sambil tak ragu meminta turun-tanganmu, membelaku dari murka Dia—yang begitu mencintaimu. Kuinjak-buang teladanmu, sambil memimpikan pertolonganmu di hadapan Tuhan, padahal alangkah megah kemungkaran telah kupertunjukkan.

Betapa diri ini memalukan, wahai nabi pujaan

Mengalir air mataku merindukanmu, namun dalam sekejap waktu, mata itu berubah menyala oleh hawa nafsu. Tergetar batinku mendengar agung namamu, namun dalam sekejap waktu, batin itu kembali riuh oleh pertandingan memburu pernik dunia yang palsu. Gemetar tubuh ini oleh kemarahan saat engkau direndahkan, namun kata dan laku hidupku begitu nyata mengabaikan semua nasihat mulia yang kau berikan. Kuteriakkan sumpah menantang siapa pun yang berani menjatuhkan kehormatanmu, sambil diam-diam kupunggungi hampir semua teladan tuntunanmu.

Akankah tersisa maklum-mu untukku, wahai nabi penyayang

Saat segala kebaikanku ternyata hanya akting palsu. Saat segala tutur manisku ternyata hanya rayuan gombal berpamrih keduniaan; saat segala cerdik pikirku hanya mencari celah untuk membesarkan nama dunia, bahkan kadang membenarkan yang jelas salah; saat kebijaksanaan yang kupertunjukkan hanyalah tipuan untuk memancing puji dan kekaguman. Uswahmu—dan juga petunjuk Tuhan—tak pernah sama sekali menjadi pertimbangan.

Kehinaanku telah nyata, nabi mulia

Saat harus memilih antara kebenaran ataukah kepentingan, kupilih kepentingan. Saat harus memilih antara manfaat ataukah kemasyhuran, kupilih kemasyhuran. Saat harus memilih antara kesenangan ataukah perjuangan, kupilih kesenangan. Saat harus memilih antara kebaikan ataukah pengakuan orang, kupilih pengakuan orang. Saat harus memilih antara keuntungan ataukah kemuliaan, kupilih keuntungan. Saat harus memilih antara penaklukan ataukah penghargaan, tegas kupilih penaklukan. Saat harus memilih antara keinginanku ataukah keinginan Tuhan, pura-pura aku tak tahu keinginan Tuhan, lalu diam-diam kuwujudkan keinginanku atas nama Tuhan. Saat harus memilih antara kemanusiaan ataukah keunggulan, pura-pura aku tak paham apa itu kemanusiaan, lalu diam-diam kutaklukkan-kurendahkan semua orang atas nama kemanusiaan. Saat harus memilih perbuatan baik ataukah perbuatan menyenangkan, pura-pura aku beralasan kebaikan itu beragam, lalu diam-diam kupilih kebaikan yang hanya menyenangkan.

Duhai kekasih Ilahiyang kehadirannya memberkahi bumi

Hanya kegelisahan ini yang kini kumiliki, tak ada yang lebih baik lagi. Setiap kali kudengar namamu disebut dan diagungkan, kutundukkan wajahku dalam rasa malu. Mengalir air mataku saat muncul pertanyaan itu: Mungkinkah adaku hanya mengundang keprihatinanmu dan menambah gelisahmu, wahai Nabiku?  Umat macam apa aku ini Kanjeng Nabi, yang tak henti membuatmu risau hati.

Namun demikian,

Aku yakin, engkau, Nabiku tercinta, masihlah sang penyabar yang tak kenal batas dan tepian; masihlah sang pemaaf yang tak kenal syarat dan tak menghitung penderitaan; masihlah sang penentram yang tak henti mengembangkan senyuman, menebar hawa damai dan ketenangan; masihlah sang pemurah yang hanya tahu memberi dan membahagiakan; masihlah sang penyayang yang tak henti peduli, mencemaskan umatnya hingga akhir zaman.

Lalu kubayangkan, wahai nabi utama

Dengan penuh kelembutan engkau menyapaku sambil tersenyum menenangkan, membuat tawar semua resah dan kegalauan, lalu engkau berbisik perlahan: “Kemarilah wahai umatku tersayang, yang masih percaya kepada kebenaranku, yang masih berharap kepada syafaatku, yang masih berkehendak dekat denganku. Marilah kutemani gelisahmu. Marilah bersama menghadap-Nya, menjemput kasih-cinta-Nya, berterima kasih atas segala anugerah-Nya, mempersembahkan segala lemah dan alpa di atas cawan ampunan-Nya.”

----Fahruddin Faiz----   


Komentar

  1. Selalu dan selalu, perbaiki diri untuk menjadi lebih baik, senantiasa meninggalkan yg buruk

    BalasHapus
  2. "berkasih sayang, menjadi rahmat bagi semesta, bukan jadi susah dan duka." Bagaimana mengajarkan ini ke siswa ibu?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salah satunya bertutur dan mendoakan yang baik bagi para siswa apapun tingkah mereka

      Hapus
  3. Semoga saya juga bisa konsisten memperbaiki diri dimanapun kapanpun

    BalasHapus
  4. Semoga bisa menjadi insan yang selalu meneladani Beliau

    BalasHapus
  5. terus belajar dan intropeksi diri dengan kesalahan ataupun kebeneran yang dilakukan

    BalasHapus
  6. Keren Bu Yanti 👍

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menebus Rindu

Dari Tunggal Kembali Manunggal (Hikayat 1001 Malam)

Letting Go: Perasaan dan Kemampuan Menjual