Si Anak Kuat (Amelia)
Setelah buku pengembangan diri yang berjudul Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat dan buku keuangan "Make It Happen, Now!, beberapa hari ke depan akan saya ulas tentang novel serial anak-anak mamak karya Tere Liye. Mengulang untuk membaca novel-novel tersebut membawa saya kembali mengenang masa-masa saat masih hidup bersama dengan Bapak, Ibuk, Mbak Indri, saya Yanti, Lhe Wahyu dan Nduk Novi. Serupa tapi tak sama, keluarga kami dapat diibaratkan seperti keluarga Pak Syahdan, Bu Nurmas, Eliana, Burlian, Pukat dan Amelia.
Alhamdulillah sudah pernah membaca novel-novel tersebut dengan judul yang masih lama dan sekarang direcover dengan judul baru yang ternyata setelah searching isinya pun sama. Berlatar dengan kehidupan desa di pedalaman Sumatera di lembah Bukit Barisan pada era dimana gadget dan hedonisme belum menjamur seperti zaman sekarang. Meski berbeda zaman dan latar, selalu saja ada kisah penuh hikmah yang masih relate dengan kehidupan saat ini.
Bermula dari aktivitas Mamak dan Bapak untuk membantu Mak Dullah membuka lahan baru yang agak jauh dari perkampungan. Hari itu adalah hari Minggu yang merupakan hari libur sekolah bagi anak-anak mamak. Namun bagi Amelia hal ini menjadi hari libur yang menyebalkan bagi Amelia karena seharian harus bersama Kak Eli dan ditinggal main oleh Kak Burlian dan Kak Pukat. Dengan sengaja Amelia bermalas-malasan untuk mengerjakan tugasnya seperti mengepel dan mencuci sepatu. Di sisi lain Kak Eli menyelesaikan berbagai pekerjaan yang lebih berat. Hingga adzan ashar berkumandang pun tugas itu belum juga diselesaikan sampai akhirnya Kak Eli mengingatkan sembari membentaknya lalu pergi mencari adik-adiknya yang sedang main perahu otok-otok.
Sebagai anak bungsu, Amelia berpikiran bahwa dia selalu disuruh-suruh dan ingin sekali menggantikan peran Kak Eli. Kesempatan itu datang ketika Amelia melakukan aksi yang disarankan oleh Maya, teman sebangku Amelia. Amelia menggunakan sikat gigi Kak Eli untuk menyikat sepatunya sebagai puncak rasa kesalnya atas kemarahan Kak Eli karena Amelia pergi bersama Maya tanpa pamit dan perintah-perintah Kak Eli untuk mengangkat kayu-kayu bakar yang menurut Amelia itu bukan tugasnya tetapi tugas Kak Pukat dan Kak Burlian. Aksi Amelia menggunakan sikat gigi Kak Eli tersebut ketahuan saat hendak tidur. Saat akan menyikat gigi sebelum tidur Kak Eli berteriak mengira Pukat dan Burlian yang melakukannya, tetapi malah yang Amelia menangis sehingga seisi rumah paham siapa pelakunya. Amelia pun mendapatkan hukuman untuk menggantikan peran Kak Eli sebagai anak sulung dan mengambil kayu bakar di hutan. Saat menjalankan peran sebagai anak sulung ini membuat Amelia paham betapa berat tanggung jawab Kak Eli. Dan mencari kayu bakar di hutan dengan ditemani Kak Eli ada suatu peristiwa dimana kaki Amelia terantuk tanggul pohon yang kemudian mereka berdua saling menyadari kasih sayang seorang kakak beradik. Sejak saat itu hubungan Amelia dan Kak Eli semakin membaik.
Tidak hanya dengan Kak Eli, Amelia juga memiliki teman sekelas bernama Chuck Noris yang sering membuatnya jengkel. Selidik punya selidik kenakalan Chuck Noris bersumber dari rasa marahnya pada ibunya yang dikira sengaja pergi meninggalkannya. Amelia membantu mencari informasi tentang hal tersebut yang ternyata ibunya Chuck Noris tidak pergi meninggalkan anaknya tetapi sedang berada di suatu kota dengan kondisi sakit yang parah. Dengan pendekatan dan pemberian pemahaman yang perlahan maka sedikit demi sedikit kenakalan Chuck Noris pun berkurang. Bahkan mulai belajar kelompok bersama Amelia dan Maya.
Amelia memiliki paman yang merupakan adik dari mamak bernama Paman Unus. Paman Unus merupakan satu-satunya warga di kampung yang mengenyam kuliah. Suatu ketika Amelia bersana Paman Unus masuk ke dalam hutan untuk mengamati berbagai tanaman dan menemukan jenis kopi tertentu yang berbuah amat lebat. Amelia yang masih SD memiliki ide semacam kultur jaringan setelah mengamati kopi tersebut dan berdiskusi dengan Paman Unus. Ide tersebut tidak dikubur saja dalam otaknya, tetapi disampaikan Amelia saat pertemuan para warga. Awalnya banyak yang menentang. Namun dengan dukungan Nek Kiba, guru ngaji, serta Pak Bin, guru di sekolah maka usul Amel pun diterima. Rencana semula berjalan mulus hingga pada suatu ketika banjir melanda kampung tersebut yang membuat projek kultur jaringan Amelia pun tersapu oleh air.
Dua puluh tahun kemudian setelah kejadian itu, Amelia si bungsu penunggu rumah kembali. Amelia mengenyam pendidikan tunggi seperti kakak-kakaknya. Dia berkelana di negara kincir angin untuk mencari ilmu di bidang pedagogi dan pertanian yang kemudian kembali ke kampung halaman untuk mengabdikan diri sebagai guru di sekolahnya. Amelia telah kembali dengan kekuatan penuh. The End😊🙇♀️


Setelah membaca ujung paragraf 1. Dan.. Amelia diibaratkat sebagai???
BalasHapusKisah dengan latar pedesaan yang jauh dari gadget selalu menarik untuk disimak
BalasHapusDitunggu tulisan tentang kehidupan keluarga bu Dwi menjadi sebuah buku, haha
BalasHapus