Permainan Buzzer

Aktivis sering disebut sebagai “pengganggu kenyamanan” oleh mereka yang diuntungkan dari ketidakadilan."

Tetapi justru di situlah fungsi mereka: menjadi suara publik yang menolak tunduk pada kebisuan. Namun, di era digital, ancaman yang datang pada aktivis tidak lagi sebatas intimidasi fisik, melainkan juga serangan sistematis dari buzzer. Fakta menariknya, menurut laporan SAFEnet, hampir 40 persen aktivis di Indonesia pernah menjadi target serangan digital, mulai dari doxing hingga framing di media sosial. Artinya, buzzer bukan sekadar akun anonim iseng, melainkan mesin politik yang nyata dampaknya.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa melihatnya di lini masa Twitter atau komentar Instagram. Seorang aktivis yang berusaha mengkritik kebijakan publik tiba-tiba dibanjiri komentar seragam: ada yang menghina pribadi, ada yang memutarbalikkan fakta, bahkan ada yang menyebarkan fitnah. Yang menarik, pola itu selalu mirip, seperti ada instruksi tersembunyi yang menggerakkan.

Mari kita kupas tujuh cara buzzer mengganggu aktivis, agar publik lebih paham mekanismenya dan tidak gampang termakan narasi murahan.

1. Serangan Karakter

Salah satu cara paling umum yang dilakukan buzzer adalah menyerang karakter pribadi aktivis. Ketika seorang aktivis mengkritik kebijakan, alih-alih menanggapi substansi, buzzer malah mencari celah pada kehidupan pribadinya. Misalnya, seorang aktivis lingkungan yang menolak proyek tambang justru dituduh sebagai orang gagal, tidak bekerja, atau sekadar mencari perhatian. Tujuannya jelas: melemahkan kredibilitas melalui serangan personal.

Dalam praktiknya, serangan karakter ini sering dikemas dengan narasi yang tampak masuk akal. Ada yang mengungkit pendidikan, ada pula yang menyebarkan foto lama untuk menciptakan stigma. Padahal, substansi yang dikritik tidak pernah disentuh. Di titik ini, publik awam mudah terjebak: mereka mengira aktivis memang bermasalah, padahal yang sedang dilakukan buzzer hanyalah menggeser fokus dari isu ke individu.

Menghadapinya perlu ketenangan. Aktivis yang paham permainan ini biasanya akan tetap fokus ke isu, tidak terjebak pada balasan emosional. Menariknya, di logikafilsuf banyak dibahas tentang bagaimana retorika bisa digunakan untuk melawan framing seperti ini. Saat orang fokus ke logika, bukan gosip, serangan buzzer kehilangan taringnya.

2. Penyebaran Disinformasi

Buzzer sering mengubah narasi dengan menciptakan informasi palsu dan kompor informasi supaya orang mudah tersinggung. Aktivis yang mengkritik Pemerintah dan Pejabat baik dalam konteks bercanda atau makna yang tidak tersirat. Disinformasi bekerja cepat, apalagi di media sosial di mana kecepatan lebih penting dari kebenaran.

Fenomena ini bisa kita lihat di banyak kasus. Seorang aktivis yang vokal terhadap isu HAM tiba-tiba di-framing sebagai simpatisan kelompok terlarang. Di ruang digital, label itu dengan cepat menyebar, menciptakan keraguan publik terhadap suara kritisnya. Ini bukan sekadar serangan, melainkan strategi untuk membunuh legitimasi.

Cara paling efektif melawannya adalah dengan konsistensi data. Aktivis yang selalu berbicara berdasarkan sumber resmi dan penelitian kredibel akan lebih sulit dipatahkan. Di sisi lain, publik juga harus terbiasa mengecek informasi, tidak hanya menelan mentah-mentah narasi yang berseliweran.

3. Serbuan Komentar Seragam

Sebuah tanda jelas keberadaan buzzer adalah munculnya komentar seragam dalam jumlah besar. Aktivis yang menyuarakan isu bisa langsung diserang ribuan komentar bernada sama: menuduh, mengejek, atau menyudutkan.

Hal ini membuat seolah-olah publik luas menolak suara aktivis tersebut, padahal kenyataannya komentar itu dikendalikan dari satu pusat. Bagi pembaca awam, keseragaman itu menimbulkan efek psikologis: kalau ribuan orang berkata sama, mungkin memang benar. Inilah kekuatan semu yang diproduksi buzzer.

Strategi ini bisa dipatahkan dengan memperlihatkan kejanggalannya. Aktivis yang cerdas akan menunjukkan pola komentar, bahkan kadang meng-capture kesamaan kalimat untuk mempermalukan operasi buzzer itu sendiri. Publik pun bisa lebih sadar bahwa “keramaian” di media sosial seringkali adalah hasil rekayasa, bukan aspirasi organik.

4. Pengalihan Isu

Buzzer piawai dalam mengalihkan perhatian publik. Saat seorang aktivis mengangkat isu lingkungan, buzzer bisa dengan cepat menggiring percakapan ke arah yang sama sekali tidak relevan, misalnya menyoal kehidupan pribadi atau hal-hal kecil yang tak substansial.

Pengalihan ini sangat efektif karena publik digital mudah tergoda pada hal remeh. Isu serius seperti krisis iklim bisa tenggelam hanya karena perdebatan tentang gaya bicara atau pakaian aktivis. Alhasil, substansi hilang, yang tersisa hanyalah kegaduhan.

Aktivis perlu menguasai strategi komunikasi untuk mengembalikan fokus diskusi ke inti masalah. Tidak semua orang paham bahwa pengalihan isu adalah taktik, maka penting sekali ada konten yang menjelaskan cara kerjanya. Ini yang membuat edukasi publik di ruang digital menjadi krusial.

5. Intimidasi Psikologis

Buzzer tidak jarang menggunakan ancaman, baik terang-terangan maupun terselubung. Ada yang mengirim pesan pribadi dengan kata-kata kasar, ada pula yang membuat postingan yang memberi kesan aktivis sedang diawasi.

Intimidasi ini menyasar sisi psikologis. Aktivis bisa merasa tertekan, cemas, bahkan kehilangan keberanian untuk bersuara. Bagi banyak orang, tekanan seperti ini jauh lebih berat daripada sekadar perdebatan di ruang publik. Ketika rasa aman terganggu, suara kritis bisa perlahan padam.

Namun, justru dari titik ini solidaritas publik diperlukan. Dukungan terbuka, komentar positif, atau sekadar menyebarkan ulang narasi aktivis bisa memperkuat mental mereka. Aktivis yang tahu ia tidak sendiri akan lebih kuat melawan tekanan buzzer.

6. Doxing atau Pembocoran Data Pribadi

Salah satu metode paling berbahaya yang dilakukan buzzer adalah doxing, yaitu menyebarkan data pribadi aktivis. Mulai dari alamat rumah, nomor telepon, hingga informasi keluarga bisa diekspos untuk menimbulkan rasa takut.

Praktik ini seringkali dibungkus sebagai “membuka kedok” padahal yang dilakukan hanyalah membahayakan keselamatan seseorang. Seorang aktivis perempuan misalnya, bisa dengan mudah menjadi target pelecehan begitu datanya disebarkan. Risiko nyata inilah yang membuat doxing menjadi salah satu bentuk serangan paling kejam.

Menghadapinya butuh kesiapan digital. Aktivis kini belajar melindungi jejak digital mereka, mengatur privasi, hingga menggunakan enkripsi. Bagi publik, penting untuk tidak ikut menyebarkan informasi pribadi, sekalipun dengan alasan ingin tahu.

7. Normalisasi Kebisuan

Cara terakhir yang sering dilakukan buzzer adalah menciptakan atmosfer di mana diam dianggap lebih aman. Aktivis yang diserang habis-habisan dijadikan contoh agar orang lain takut berbicara. Lama-lama, publik terbiasa dengan kebisuan.

Normalisasi kebisuan ini berbahaya karena membunuh iklim demokrasi. Jika semua orang memilih diam, maka ruang publik hanya diisi oleh narasi penguasa dan buzzer. Kritik dianggap aneh, sementara pujian dianggap normal.

Menghadapinya butuh keberanian kolektif. Jika semakin banyak orang berani bersuara, buzzer tidak bisa lagi menarget satu individu. Justru keberanian publiklah yang menjadi penawar dari kebisuan yang diciptakan.

Buzzer tidak sekadar akun iseng, mereka adalah instrumen politik yang bekerja sistematis. Dengan memahami cara kerja mereka, kita bisa lebih bijak dalam menanggapi serangan digital.

Menurutmu, dari tujuh cara ini, mana yang paling sering kamu lihat di media sosial akhir-akhir ini?

Bagikan tulisan ini agar lebih banyak orang tidak mudah termakan permainan buzzer.

Sumber : MJS Channel

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tabur Tuai : Oneness

Note from PKKS

Membuka Blokir