Enam "SA"

Pernah ada kawan bertanya, bagaimana menghapus kenangan yang kurang menyenangkan di masa lalu? Menghadapi ketakutan akan masa depan yang belum jelas? Menyelesaikan tugas hari ini yang begitu menumpuk? Kegalutan tentang semua itu sedikit banyak pasti dialami oleh semua manusia, hanya saja intensitasnya mungkin berbeda-beda. 

Ada satu tips dari Ki Ageng Suryo Mentaram, sang putra mahkota yang memilih menjadi rakyat jelata, agar sedikit banyak meringankan "presure" akan masa lalu, masa depan maupun masa kini. Ketika tinggal di istana, Ki Ageng tidak pernah bertemu dengan "manusia" yang benar-benar manusia. Meskipun dalam kesehariannya banyak pelayan yang siap melayani dan hidup dalam penuh penghormatan. Hingga akhirnya Ki Ageng meminta ijin kepada Ayahanda Sri Sultan Hamengku Buwana VII untuk meninggalkan istana dengan segala konsekuensi yang ditanggungnya. 

Dalam menjalani kehidupan sebagai rakyat jelata, Ki Ageng bersama Ki Hajar Dewantara mengadakan pertemuan semacam majelis ilmu untuk masyarakat sekitar. Ki Ageng mengadakan pertemuan setiap Selasa Kliwon bagi masyarakat yang sudah baligh dan Ki Hajar membuat semacam pawiyatan bagi anak-anak yang sekarang disebut dengan taman siswa. 

Salah satu warisan dari pertemuan itu yakni enam "SA" dapat menjadi tips untuk mengurai kegalutan di atas. Enam "SA" merupakan kepanjangan dari sabutuhe, saperlune, sacukupe, sabenere, samesthine, sakpenak'e yang artinya sesuai kebutuhan, sesuai keperluan, secukupnya, sebenarnya, seharusnya, senyamannya. Enam "SA" terangkum dalam benang merah yakni mengerti batas sehingga kita bisa menerima kegalutan-kegalutan itu secara lapang yang akhirnya dapat letting go alias menyelesaikan dan melepasnya dengan puas. Berharap dapat menemukan kembali batas ambang kita dalam dimensi apapun itu. Semoga🙇‍♀️ 

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menebus Rindu

Dari Tunggal Kembali Manunggal (Hikayat 1001 Malam)

Letting Go: Perasaan dan Kemampuan Menjual