Tak Terlambat Menjawab

Memori diskusi dengan cinta pertamaku ikut terlintas saat kulantunkan dzikir di pagi itu. Terngiang pertanyaan, "Nduk, bapakmu iku kan aku, nek bapakku iku mbah Min, lha nek krungu ning pengajian-pengajian kok nek didangu bapake sapa jawabe iku kudu Nabi Ibrahim? Kritis, logis dan radikal mendalam, itulah metode yang digunakan Bapak dalam berdiskusi untuk mengupas keingintahuan dan penasaran yang ada. Kadang obrolan kami juga mengalami kebuntuan karena teguh dengan semesta pengetahuan masing-masing. Hingga suatu saat tertentu, seperti di pagi itu kutemukan suatu ilham. InsyaaAllah Bapak pasti melihat jawaban di prasasti ini sekalipun sudah di alam keabadian. 

أَصْبَحْنَا عَلَى فِطْرَةِ اْلإِسْلاَمِ وَعَلَى كَلِمَةِ اْلإِخْلاَصِ، وَعَلَى دِيْنِ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَعَلَى مِلَّةِ أَبِيْنَا إِبْرَاهِيْمَ، حَنِيْفًا مُسْلِمًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ 

Ash-bahnaa ‘ala fithrotil islaam wa ‘alaa kalimatil ikhlaash, wa ‘alaa diini nabiyyinaa Muhammadin shallallahu ‘alaihi wa sallam, wa ‘alaa millati abiina Ibraahiima haniifam muslimaaw wa maa kaana minal musyrikin. (H.R Ahmad) 

Artinya: “Di waktu pagi kami di atas fitrah agama Islam, kalimat ikhlas, agama Nabi kami Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan agama bapak kami Ibrahim, yang berdiri di atas jalan yang lurus, muslim dan tidak tergolong orang-orang musyrik.” 

"Dan agama bapak kami Ibrahim" menjadi clue yang cukup menarik untuk diurai.  Kata "bapak kami Ibrahim" memberikan pesan bahwa pujian untuk Nabi Ibrahim pantas disematkan karena teladan perjalanan kehidupan beliau. Di shirah Nabi Ibrahim dalam  mencari Tuhan terlihat jelas bahwa awal episode Ibrahim muda menggunakan media indra dengan menganggap bahwa bulan, bintang dan matahari itu harus disembah. Seiring dengan perkembangan akal budi, Ibrahim pun menyadari bahwa bukan hal-hal yang tidak abadi yang patut disembah. Lalu, peristiwa pembakaran yang dialaminya mematahkan empirisme dan rasionalisme yang pernah digunakan sebagai perangkat untuk mengenal Tuhan.

Sampai akhirnya Nabi Ibrahim mengalami puncak pembuktian melalui mimpi yang berulang-ulang agar menyembelih anak tercinta sebagai ibadah qurban, sekalipun akhirnya diganti dengan hewan qurban. Kata qurban berasal dari Bahasa Ibrani yakni ןברק qorbān” yang artinya persembahan and Bahasa Syria qurbānā  yang berarti pengorbanan. Dalam Bahasa Arab, mengandung makna “cara atau jalan  untuk mendekat” atau “kedekatan”. Hikmah tersirat dari perintah qurban antara lain pengakuan akan Tuhan Yang Maha Kuasa, kerelaan hamba akan segala ketetapanNya, menjalin ikatan dan kedekatan denganNya, pembebasan diri dari selain-Nya  dan melakukan “spiritualisasi” hidup dan kehidupan.

Selain hal di atas, makna yang dapat diambil saat seseorang berkorban dalam konteks sesama manusia yakni hakikatnya ia sedang melakukan sesuatu yang bertentangan dengan tuntutan egonya. Karena dalam aktifitas pengorbanan ia sedang melakukan atau memberikan apa yang dimiliki atau apa yang disenangi. Jadi dalam berkorban seseorang sedang membebaskan diri dari  egonya. 

Saat ego belum terkikis sepenuhnya, pengorbanan pun biasanya dilakukan dengan pamrih-pamrih egois tertentu. Banyak orang menyesal berkorban karena tidak mendapatkan balasan yang sama atau bahkan lebih ekstrem lagi pengorbanan menjadi alasan mengikat seseorang. “Aku sudah berkorban untukmu cinta, ini semua kulakukan karena aku mencintaimu”. Upz...Upz....Upz...

Pengorbanan yang tulus ikhlas adalah manifestasi dari cinta yang sama tulusnya. Ketulusan cinta membuka jalan bagi keikhlasan pengorbanan. Cinta yang berpamrih akan melahirkan pengorbanan yang menanti balasannya. Dan Nabi Ibrahim dapat membingkai ketulusan pengorbanan cinta kepada sesama untuk menuju Yang Maha Mencinta. So, memang pantas dan patut kita lantunkan dzikir atas "bapak kami Ibrahim".

Alhamdulillah dengan ilham jawaban di atas perlahan kulonggarkan ikatan cinta pertamaku dalam bingkai jiwa yang melapang, meskipun di awal perpisahan itu terasa sakit. Dan sekarang semakin yakin bahwa semua diskusi itu tidak sekedar “iseng”, tetapi bertujuan, dimana akan sampai pada titik terang saat semua sudah siap menurutNya. Apakah saat dulu Bapak masih di dunia atau seperti sekarang ketika sudah berada di sisiNya atau pun saat anakmu ini menyusulmu menghadapNya. Tak ada kata terlambat menjawab dalam diskusi kita nggih Pak. Semoga kita sekeluarga diperkenankan berkumpul kembali di surgaNya. Aamiin ya Allah💖

Komentar

  1. bagaimana dengan "korban perasaan bu" apakah bagian dari kedekatan? hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya termasuk, kedekatan kepadaNya bahwa korban perasaan ini sebaiknya diterima meski perlu waktu atau perlahan lalu kita dikembalikan ke Sang Pemilik♥️

      Hapus
  2. bagaimana dengan "korban perasaan bu" apakah bagian dari kedekatan? hehehe

    BalasHapus
  3. bagaimana dengan "korban perasaan bu" apakah bagian dari kedekatan? hehehe

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menebus Rindu

Dari Tunggal Kembali Manunggal (Hikayat 1001 Malam)

Letting Go: Perasaan dan Kemampuan Menjual