Kisah Buya Hamka ( Ayah . . .)

 "Bila aku mati kelak, minta kesediaan Hamka untuk menjadi imam shalat jenazahku"

___Soekarno___

Biasanya setelah dua novel maka saya mengulas dua buku non-fiksi. Satu buku membincang sesat pikir dan cacat logika; satu buku kali ini memang bukan novel tetapi berupa cerita kehidupan tokoh nasional bangsa ini, Buya Hamka. Saya ulas buku biografi yang ditulis oleh putra kandung kelima beliau. Ingin hati membaca novel Buya Hamka karangan Anwar Fuadi atau menonton film beliau di layar lebar. Berharap dengan membaca kembali buku "Ayah..." dan menuangkannya di prasasti kecilku ini semoga minimal dapat menjadi ikhtiar untuk mewujudkannya atau sebagai jalan untuk pembelajaran kita semua.
 
Nama asli Buya Hamka adalah Abdul Malik Karim yang merupakan anak dari Syech Dr. Abdul Karim Amrullah dan Sitti Shafiahh. Hanya mengenyam pendidikan formal selama 3 tahun di Sekolah Desa yang sering dilecehkan oleh anak-anak kelas atas. Saat berusia 12 tahun, orang tuanya bercerai yang membuat Buya Hamka hampir saja kehilangan pegangan dan pendidikannya semakin terbengkalai. 

Namun perlahan-lahan dalam diri Hamka kecil mulai tumbuh niat untuk menjadi manusia berguna. Setiap hari beliau asyik membaca berbagai buku dari buku agama, sejarah, sosial, politik hingga roman. Di usia 13 s.d 14 tahun beliau telah membaca pemikiran Djamaluddin Al Afgani dan Mohammad Abduh dari Arab. Dari dalam negeri, beliau mengenal pula pemikiran HOS Tjokroaminoto, KH. Mas Mansyur, Ki Bagus Hadi Kusumo, H. Fachruddin dan lain-lain. Kekaguman Buya pada tokoh-tokoh tersebut membulatkan tekadnya untuk berangkat merantau ke Jawa tanpa ijin ke ayahnya. Beliau singgah dulu di Bengkulu, ada famili satu suku dengan ibunya. Hanya saja Hamka yang semula elok rupawan berubah berwajah bopeng karena menderita cacar saat di sana sehingga setelah beliau diantar pulang ke Padang Panjang. Baru setelah berumur 15 tahun tepatnya di bulan Juli tahun 1924 beliau merantau ke Jawa setelah meminta restu kepada ayahnya. Hamka banyak menimba ilmu di Jawa terutama ilmu public speaking dan berorganisasi sampai usia 17 tahun.

Sepulang dari Jawa, Hamka selalu diajak ayahnya untuk memberikan tausiyah di Padang Panjang. Semula orang-orang kagum dengan pemikiran Hamka yang dianggap baru, tetapi lama kelamaan masyarakat menyadari bahwa bacaan Al Quran dan penguasaan bahasa Arab beliau sangat payah karena tidak mengenal Nahwu - Shorof.  Selain itu, karena Hamka tidak memiliki ijasah Diploma, hanya mengenyam sekolah formal 3 tahun, maka ia tidak diterima menjadi guru di sekolah Muhammadiyah Padang Panjang meskipun ayahnya sendiri ikut mendirikan. Pengalaman-pengalaman pahit yang Buya alami di Padang Panjang menjadikan beliau untuk berketetapan hati menimba ilmu di Mekkah. 

Selama di Mekkah beliau bermukim di rumah Syekh Amin Idris dan selalu menggunakan bahasa Arab serta mendapatkan pekerjaan di sebuah percetakan sehingga dapat memanfaatkan waktu istirahat untuk membaca berbagai jenis buku. Semula Hamka berencana untuk bertahun-tahun tinggal di Mekkah, tetapi setelah bertemu Haji Agus Salim, tokoh tersebut menganjurkan Hamka untuk kembali ke tanah air. Sepulang dari tanah air, Hamka tidak langsung pulang ke kampung halaman. Beliau tinggal di Medan dan mendapatkan pekerjaan sebagai guru agama, penulis dan wartawan. Di tengah kesibukannya, kakak ayahnya, Buya Sutan Mansyur, datang menjemputnya untuk pulang ke kampung. Buya Hamka diminta ayahnya untuk menikah dan meneruskan cita-cita ayahnya untuk menjadi ulama. Hamka menikahi Siti Raham di usia 19 tahun, yang kemudian dipanggil anak-anak dengan sebutan Ummi.


Dari pernikahan dengan Siti Raham beliau dianugerahi 12 anak, dimana 2 anak meninggal saat balita dan 10 anak hidup sampai dewasa. Sebagai ulama dan pejuang revolusioner di zaman perjuangan kemerdekaan maupun saat agresi militer untuk mempertahankan kemerdekaan, Hamka ditemani Ichsan, pemuda yang di anggap saudara, sering keluar masuk hutan Sumatera dengan berjalan kaki. Waktu itu anak-anak Buya masih kecil dan sering berpindah-pindah bersama Ummi ditemani Ichsan dengan menyusuri hutan juga agar terhindar dari Belanda untuk dapat menyusul Buya. Pernah pula Buya dan Ichsan bersembunyi di kubangan selama satu jam lebih saat tiba-tiba ada suara gerombolan Belanda mendekat dan setelah Belanda menjauh lalu keluar dari kubangan yang ternyata semua badan dikerumuni lintah yang ada di kubangan persembunyian tadi. Bahkan Hamka juga pernah ditangkap dan hampir dibunuh oleh pasukan pribumi karena dikira mata-mata Belanda. Dan setelah dibawa ke hadapan komandan pasukan pribumi tersebut ternyata komandam itu sangat mengenal baik Hamka hingga akhirnya Hamka diminta bermalam bersama komandan tersebut. 

Saat keluarga pindah ke Jakarta, Hamka pernah menjadi dewan konstituante dari Partai Masyumi; bekerja di Departemen Agama dan mendirikan berbagai penerbitan. Selain itu Hamka juga pernah dua kali diserahi amanah menjadi ketua MUI sebanyak 2 kali periode dan di periode yang kedua beliau mengundurkan diri sebelum masa kepemimpinan berakhir karena berpegang teguh pada prinsip tentang akidah. Pernah juga Hamka ditawari Jenderal Nasution, Menteri Pertahanan dan Keamanan, untuk menjadi Mayor Jenderal Tituler serta ditawari Prof. Dr. Mukti Ali, Menteri Agama, untuk menjadi Duta Besar Indonesia di Arab Saudi. Semua tawaran itu ditolak oleh Buya Hamka setelah beliau meminta pendapat dari istrinya, Siti Raham. Istrinya lebih senang jika Buya Hamka merawat dakwah di masjid Al Azhar yang sudah beliau rintis dari awal pembangunan masjid tersebut. "Lebih baik Angku Haji tetap berperan di Masjid Agung Al Azhar, lebih terhormat di hadapan Allah. Pahalanya dapat dirasakan oleh umat dan sekaligus insyaAllah diridhai oleh Allah", begitu saran Ummi lembut. Dan benar juga keputusan yang diambil membuat Buya Hamka semakin dekat dengan umat dan dapat bersama Ummi mendidik anak-anak yang saat itu mulai tumbuh dewasa. Hamka menjadi tempat curahan hati dan tempat meminta pendapat berbagai golongan masyarakat. Bahkan masjid yang semula hanya sebagai tempat sholat berjamaah lama kelamaan dapat menjadi tempat untuk melakukan aktivitas pembelajaran semacam sekolah, meskipun waktu itu belum semenjamur seperti sekarang, sekolah Al Azhar yang saat ini ada di berbagai kota di Indonesia. 

Sebaik apapun orang pasti ada yang tidak suka. Sejelek apapun orang itu pasti ada yang menyukai. Pengalaman Hamka menjadi orang yang tidak disukai terjadi saat beliau ditahan selama dua tahun empat bulan. Hamka dituduh melanggar UU Anti Subversif Pempres No 11 yaitu merencanakan pembunuhan Presiden Suokarno. Tanpa peradilan dan pembuktian Hamka langsung ditahan serta buku-buku karangan beliau pun dilarang terbit serta beredar. Selama di penjara, keluarga yang ditinggal mengalami perekonomian yang carut marut. Meskipun begitu Ummi tetap menjaga kehormatan suami dan tidak berkenan menerima sedekah karena masih memiliki rumah luas yang bisa dijual jika Hamka memang masih lama ditahan. Di penjara, Hamka dapat menulis karya momunental berupa tafsir Al Azhar 30 juz. Hamka dibebaskan setelah Orde lama jatuh digantikan Orde Baru. Saat Presiden Soekarno mengirim wasiat kepada Hamka maka beliau dengan mantap memenuhi wasiat tersebut untuk menjadi imam shalat jenazah beliau.

Tidak hanya dengan Soekarno, Hamka juga tidak disukai Mohamad Yamin karena bersitegang tentang ideologi negara. Hingga suatu ketika saat Mohamad Yamin meregang nyawa, mengutus orang agar Hamka mau menjenguknya dan mengantar jenazahnya di kampung halaman, Talawi. Di sisa-sisa hembusan nafas terakhir, Hamka memegang tangan Mohammad Yamin, membisikkan lirih kalimat tauhid sampai menutup mata dan Hamka memenuhi permintaan terakhir Mohammad Yamin. Tokoh lain yang berseberangan dengan Hamka adalah Pramudya Ananta Toer, tokoh Lekra. Pramudya kerap menyerang Hamka melalui tulisan-tulisan yang pedas dan menyebar isu bahwa karya Hamka hanyalah jiplakan dari Alvonso Care, pujangga Perancis. Hamka tidak menanggapi hal tersebut. Bahkan suatu ketika, Astuti, anak Pramudya, menemui Hamka bersama Daniel, calon suami, agar Buya Hamka mengajari Daniel ,yang Chinese non-muslim itu, untuk belajar agama Islam.  Astuti bersama Daniel menemui Hamka atas perintah ayahnya, Pramudya Ananta Toer. Hamka pun dengan senang hati mengajari Daniel, mengislamkan dan menikahkan mereka. Begitulah Buya Hamka, teladan manusia yang berjiwa besar, pemaaf dan berlapang dada. 

Buya Hamka meninggal dunia pada hari Jumat, 24 Juli 1981 pukul 10 lebih 37 menit di usia 73 tahun. Buya menderita sakit diabetes milletus, sempat koma dan dirawat di rumah sakit ketika bulan puasa. Masyarakat yang menshalatkan jenazah Buya Hamka tidak putus-putus. Bahkan sampai hari keempat masih banyak yang berziarah ke makam Buya Hamka. Wafatnya Buya Hamka membuat banyak pihak berduka. Dan beliau mengukir sejarah, memberikan teladan serta menulis berbagai karya yang dapat kita warisi karena Buya Hamka adalah sang ayah bangsa.😊🙇‍♀️




Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menebus Rindu

Dari Tunggal Kembali Manunggal (Hikayat 1001 Malam)

Letting Go: Perasaan dan Kemampuan Menjual