Terjemah Rasa/ Tentang Aku, Hamba dan Cinta

Ujung Jalan yang Belum Kelihatan

Dalam bimbang ragu itu, entah dalam jaga atau mimpi, tiba-tiba tangan lembut menggamit lengan. "Mengapa berhenti?" bisiknya.

Aku menoleh dan kulihat gadis yang beraura cahaya.

"Aku ingin bersamamu," katanya kemudian. "Aku ada di pihakmu. Aku siap menjadi tangan dan kakimu jika kau perlu. Cukuplah sudah air mata itu. Belum selesaikah keluh kesah itu ? Akan sampai kapan sedu sedan itu ? Cinta indah itu akankah kau bawa hanya ke lembah nestapa, tanpa memanfaatkan cahaya yang dhadirkannya?"

Kuamati kembali gadis agung itu.
Lalu, sambil tersenyum kepadanya kutanyakan, "Siapa engkau dan mengapa kau hadir dalam dunia ini yang hanya berisi duka, rindu dan pilu ? "

"Aku tidak tahu, " katanya. "Sang Penguasa Kisah memerintahkan hatiku untuk sekarang menemuimu."

"Mengapa baru sekarang ? " kuulang lagi pertanyaanku. 

"Karena kulihat kau hampir menyerah. Engkau mulai berubah. Cahaya cinta itu perlahan memudar, berganti hasrat dan dendam. Engkau mulai sama seperti mereka. Tak sadar engkau sedang berjalan ke mulut dunia yang sedang berliur mengangakan mulut dan memamerkan taringnya. Pelajaran cinta, ujian luka yang kau alami, harusnya mengantarkanmu mengangkasa, menjernihkan jiwamu hingga mampu memantulkan cahaya. Namun, engkau berjalan ke arah yang salah. Cinta yang kemarin menjulang begitu indahnya, kau ganti dengan ambisi dan kesenangan tak sejati. Kenangan yang menyentuh rasa, kau ganti dengan kenikmatan sementara. Dukamu yang mengagumkan dan menggugah jiwa, kau ganti dengan kebanggaan palsu yang memabukkan."

Aku terdiam, tak berkedip memandangi wajah cerah bercahaya itu.
"Engkau begitu indah dan cerah, mengapa mendekatiku yang murung dan salah arah?" tanyaku.

Gadis itu tersenyum.
"Siapa bilang aku cerah? Duka yang kurasakan, tidak lebih ringan dari yang kau tanggungkan. Kalau sekedar hati yang terluka oleh keinginan yang terhalangi, aku sudah merasakannya, tiap hari. Aku mendatangimu justru ingin mengajakmu menghidupkan lagi hati dan cinta yang meredup dan hampir padam ditelan zaman."

Aku termangu sesaat, tak tahu apa yang harus kulakukan.
"Tapi, kita akan kemana?" tanyaku.

"Mengapa kamu bertanya kepadaku?" katanya balik bertanya.

Tanpa sadar, aku pun bangkit berdiri, menggandeng tangannya, lalu melangkahkan kaki ... entah ke mana.


Serpihan kehidupan karya Pak Faiz yang saya kutip di atas bermula dari suara hati dalam bentuk coretan-coretan sesukanya yang akhirnya terhimpun menjadi buku Terjemah Rasa / Tentang Aku, Hamba dan Cinta. Dari sana kita dapat menggunakan buku itu sebagai cermin untuk berkaca, sejauh mana langkah hidup ini masih setia meniti lurus di jalanNya. Meski kutipan fragmen tulisan di atas mengisyaratkan pelampiasan atas duka dan kegalauan akan cinta maupun rindu, bukan tak mungkin hal itu bagi kita akan menjadi sumber semangat dan dorongan untuk tetap istiqomah agar semakin mendekat kepadaNya.

Aku adalah sang manusia dengan segala daya, kelebihan dan kelemahannya. Hamba adalah sang ciptaan, pelaksana tuntunanNya dan cinta adalah jalan paling mulia yang dapat ditempuh baik oleh aku maupun hamba. Ihwal makna yang diberikan oleh setiap kita akan berbeda, mendalam bagi seseorang, mungkin terbaca dangkal bagi yang lainnya; bernilai penting bagi seseorang, mungkin terasa naif bagi yang lainnya. Dan itulah keunikan yang mewujud setelah membacanya. Semoga kutipan di atas dapat membantu kita dalam proses muhasabah, instrospeksi diri atau sekedar mengambil hikmah saat kebetulan menemukan makna atau peristiwa yang senada. 😊🙇‍♀️




Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menebus Rindu

Dari Tunggal Kembali Manunggal (Hikayat 1001 Malam)

Letting Go: Perasaan dan Kemampuan Menjual