Semua tentang Rasa Memiliki

Setelah Ummu Sulaim melayani sang suami dengan sebaik-baiknya, saat kulit-kulit itu masih berdekapan, ia pun memberanikan diri memulai pembicaraan. “Suamiku, bagaimana pendapatmu jika dititipi barang dan kemudian diminta kembali? Sang suami pun menjawab,” Ya, harus dikembalikan kepada yang punya.” Dengan tenang Ummu Sulaim membalas, “Wahai suamiku, Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyanyang telah menitipkan anak kepada kita, dan Allah pulalah yang telah mengambilnya kembali.”

Epik indah itu telah tercatat dalam sejarah tentang rasa ini. Semua tentang rasa memiliki yang terkadang membuat kita bergeser dari ruang kesadaran bahwa tak ada kepemilikan mutlak atas nama manusia. Saat kita “merasa“ telah memiliki pasangan ideal, harta melimpah, anak sholeh-sholehah, rumah idaman, mobil mewah, sahabat-sahabat karib, profesi mapan, serta fisik sehat dan rupawan, tetapi tanpa dilandasi dengan kesadaran tentang hakikat semua itu sungguh sangat berbahaya. 

Dan apa saja (kekayaan, jabatan, keturunan) yang diberikan kepada kamu, maka itu adalah kesenangan hidup di duniawi dan perhiasannya, sedang  apa yang disisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal. Tidakkah kamu mengerti ? ( Al-Qasas: 60)

Ibarat koin mata uang, rasa memiliki dan rasa sedih itu bersanding. Jika rasa memiliki itu terlalu dalam, maka bersiap-siaplah merasakan rasa  sedih yang tak terkira. Bukan hal yang terlarang jika kita mengalaminya. Proporsional dan seimbanglah dalam menempatkan rasa itu. 

Kita bisa belajar tentang rasa ini dari kisah Buya Hamka. Saat kesehatan Buya semakin menurun dan perlu ada yang merawat, anak-anak menawari Buya untuk menikah lagi. Buya pun menjawab tawaran itu, “Buya takut kalau Allah mengambil lagi istri ayah untuk keduakalinya, Buya tak sanggup merasakan kesedihan seperti ini sekali lagi.” Setelah beberapa hari mengurung di kamar hanya dengan aktivitas mengaji, Buya pun keluar dan bersedia menerima tawaran anak-anak. Buya tidak ingin cinta Buya kepada Ummi melebihi cinta Buya kepada Allah. Sungguh mengharukan jawaban Buya Hamka setelah Ummi Hajjah Siti Raham wafat dan ditawari untuk menikahi Ibu Hajjah Siti Khadijah.

Semua tentang rasa memiliki yang bergandengan dengan rasa sedih juga bisa diambil dari sejarah Rasulllah Muhammad. Disebutkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah Muhammad SAW menangis ketika putra beliau, Ibrahim meninggal. Seseorang lantas bertanya, “ Bukankah Anda melarang kami berbuat demikian?” Beliau bersabda, “Ini adalah ungkapan rasa kasih sayang.” Lalu beliau melanjutkan, “ Air mata bercucuran dan hati bersedih, tetapi kami tidak mengucapkan selain perkataan yang diridhoi Tuhan kami, dan sungguh kami berduka dengan kematianmu, wahai Ibrahim.” 

Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang yang sabar. (Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata, “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun” (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali). (Q.S Al-Baqarah: 155-156).

Wahbah az-Zuhaili dalam tafsir Al-Munir menyebutkan banyak hadist dan atsar mengenai kesabaran, batas-batasanya, dan perintah mengucapkan “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun”. Di antaranya, hadist yang diriwaytakan oleh Muslim dari Ummu Salamah r.a, ia berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah Muhammad SAW  bersabda: “Setiap hamba yang tertimpa musibah lalu berucap,” Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali. Ya Allah, berilah aku ganti yang lebih baik, pasti akan diberi pahala oleh Allah dalam musibahnya dan pasti diberi ganti yang lebih baik. 

Semua tentang rasa memiliki yang mendalam secara sunatullah akan memberikan efek domino rasa sedih saat ditinggalkan. Jika rasa sedih dengan hati ridho dan menerima qadha-qadar maka itu tidak bertentangan dengan kesabaran dan iman. Menerima rasa memiliki dengan sadar lalu melepaskan itu memang sulit tapi mungkin, bukan mungkin tapi sulit🙇‍♀️

 

Maraji:

Al-Qur’anul Karim

Wahbah az-Zuhaili. 2014. Tafsir Al-Munir Jilid 1. Jakarta: Gema Insani Press.

Rusydi. 1983. Pribadi dan Martabat Prof. Dr. Buya Hamka. Jakarta: Pustaka Panjimas.

RP in Moment. 13.01'.06"

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menebus Rindu

Dari Tunggal Kembali Manunggal (Hikayat 1001 Malam)

Letting Go: Perasaan dan Kemampuan Menjual