Jangan Berasumsi

Saat kita sedang dihadapkan pada pertanyaan tentang sesuatu, terkadang ada yang spontan berkata "jangan berasumsi". Cukup sepakat dengan pendapat tersebut. Untuk mengulas latar belakang kesepakatan terkait hal itu maka dalam prasasti kecilku ini saya mencoba mengkaitkannya dengan tingkatan tahu. 


Level  yang pertama disebut jahl. Jahl yang saya maksud di sini bukan berarti bodoh. Namun lebih tepatnya level dimana orang yang sejatinya tidak tahu tapi seolah-olah tahu. Orang pada level ini lebih berbahaya daripada orang yang tahu bahwa dia tidak tahu. 

Selanjutnya tingkatan taqlid. Taqlid berarti mengikuti orang yang tahu karena sadar akan ketidaktahuannya. Misal saat kita ke dokter tentu kita akan taqlid dengan petunjuk dokter. Kita diperbolehkan taqlid dalam batasan tertentu terutama tentang hal-hal yang memang bukan keahlian kita. Taqlid yang dilarang adalah taqlid buta dengan ciri mengesampingkan akal sehat.

Berikutnya level zann. Zann mungkin hampir mirip dengan firasat yang posisinya fifty-fifty. Bahkan ada juga yang meyakini bahwa firasat orang mukmin itu benar adanya. Zann dalam sains bisa diistilahkan dengan hipotesis yang harus diuji lagi. Jadi secara umum level ini perlu ditelisik lebih lanjut.

Level tertinggi yakni ma'rifat atau ilm. Tanda-tanda dari ilm antara lain ketenangan jiwa atau sukunun nafs. Secara empiris dan rasional pada tingkatan ini pun tidak perlu dipertanyakan lagi. Dengan kata lain level ma'rifat merupakan tingkatan bagi orang yang tahu bahwa dia benar-benar tahu bukan hanya seolah-olah tahu. 

Dari empat level di atas, asumsi termasuk dalam tingkatan tahu yang manakah? Pasti pembaca paham apa maksud kesepakatan saya untuk jangan berasumsi. Selamat menganalisis😊🙇‍♀️


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menebus Rindu

Dari Tunggal Kembali Manunggal (Hikayat 1001 Malam)

Letting Go: Perasaan dan Kemampuan Menjual