Falsafah Cahaya

Hidup dapat diibaratkan seperti laron. Bagi laron, hal yang ia cintai adalah cahaya. Kehadiran laron pada hakikatnya adalah untuk mencari cahaya. Walaupun setelah bertemu dengan cahaya, laron beresiko kehilangan sayap-sayap kebanggaannya. Bahkan laron dapat kehilangan nyawanya setelah bersatu dengan cahaya.

Istilah cahaya atau "nur" dalam bahasa Arab dekat dengan istilah "nar". Makna nur berfokus pada karakter yang menenrangi. Sementara itu, makna nar berfokus pada karakter panas yang menghaluskan dan menghancurkan.  diasosiasikan sebagai asal usl malaikat, sedangkan nar sebagai asal usul iblis. Terdapat riwayat yang menyatakan bahwa iblis awalnya termasuk kelompok malaikat. Dalam kondisi seperti apa nur akan berubah menjadi nar? Atau, bagaimana mengolah dimensi sinar dalam diri agar berubah menjadi nur dan tetap istiqomah dalam kondisi nur?

Apabila ada kata "nur" atau "cahaya" dalam Al Qur'an secara umum maksudnya adalah petunjuk atau hidayah untuk manusia. Bentuk hidayah secara spesifik ada kalanya adalah Allah. Ada kalanya dimaksudkan sebagai Rasulullah. Ada kalanya adalah Al Qur'an. Ada kalanya maksudnya adalah keimanan. Ada kalanya dimaksudkan pada kebenaran. Ada kalanya maksudnya adalah ilmu.

Makna cahaya dalam spiritualitas manusia menurut Imam Al Ghazali, terbagi dalam tiga kelas: awam, khawas dan khawas al khawas. Definisi cahaya bagi awam berarti sesuatu yang bersinar, memancar dan terang dalam dimensi fisis. Makna nur bagi khawas, adalah sesuatu yang membuat menjadi dipahami, sarananya akal dengan jalan belajar, mencari guru, membaca kitab dan sebagainya. Selanjutnya, makna nur bagi khawas al khawas adalah sesuatu yang membuat menjadi tampak dan terpahami, sarananya dengan membebaskan akal dari khayalan, dari al wahm, dari pandangan yang duniawi dan sebagainya yang berarti jiwanya bersih, isinya hanya Allah saja sehingga ia memantulkan cahayanya Allah dengan sempurna.

Masih menurut Imam Al.Ghazali, hadirnya cahaya berdialektika dengan tiga hal dalam hidup. Hidup kita apabila ingin utuh dan benar orientasiny, arahnya tidak sesat, membutuhkan tiga komponen yakni al dhuhur, al ayn dan an nur. Al dhuhur adalah kebenaran kenyataannya, al ayn adalah diri yang sehat secara fisik maupun mental dan an nur yang berupa hidayah petunjuk bimbingan dari Allah. 

Dialektika antara al dhuhur, al ayn dan an nur selalu disarankan dengan cara membersihkan jiwa. Membersihkan jiwa berarti membersihkan mata sehingga kebenaran sehingga kebenaran terlihat, tetapi jangan merasa sombong bahwa kita kuasa melihat. Apabila Allah tidak menurunkan hidayah cahayanya, sama saja kita tidak dapat melihat apapun. Jadi dalam hidup kita butuh diri yang sehat, butuh hidayah dari Allah, baru setelah itu kebenaran akan tampak. Mari kita bersihkan batin, diri, jiwa.

Ada qoutes terkenal dari Suhrawardi Al Maatul, " Engkau hanya kaca bukan cermin". Cahaya itu Allah dan batin kita adalah cermin. Jadi, kita hanya kaca yang memantulkan cahayanya Allah, bukan daya dan kekuatan kita yang sejati, bukan cahaya kita sendiri, tetapi pinjaman dari cahaya dan kekuatan dari Allah. Ketika cermin batin kita kotor, keruh maka cermin jiwa kita tidak akan bisa menangkap cahaya apalagi memantulkan cahaya. 

Berikut aspek-aspek teknis dalam rangka membersihkan cermin jiwa dari kotoran-kotoran yang menempel atau sering disebut hijab. Hijab berarti penghalang yang menghalangi jiwa, batin dalam menangkap cahaya Allah. 

Hijab pertama, dosa dan maksiat.  Setiap kali satu dosa, satu kemaksiatan yang dilakukan ibarat menempel satu titik kotor dalam kalbu. Bertambah dosa lagi, bertambah satu titik lagi dan seterusnya sampai kalbu menjadi gelap sama sekali sampai tidak mengerti lagi apakah sedang jauh atau sudah dekat dengan Allah. Hal ini membuat orang yang jabatannya luar biasa di tengah masyarakat, ilmunya tunggi tetapi rasanya kata-kata yang keluar dari tindakan dan kebijakan semakin menjauh dari Allah. 

Hijab kedua, keterikatan duniawi menyangkut semua hal sifatnya material maupun immaterial seperti anak, pasangan suami/istri, harta benda, jabatan, organisasi, lembaga atau apapun yang membuat batin gelap. Hal ini bukan berarti tidak boleh mempunyai harta, bukan berarti tidak boleh sayang anak sayang pasangan, bukann berarti tidak boleh cinta pada pekerjaan dalam mencari nafkah. Hanya saja jangan sampai melahirkan keterikatan-keterikatan yang sama sekali tidak bisa lepas dan membuat menjadi tidak mampu sepenuhnya berpaling kepada Allah. 

Hijab ketiga, kebanggaan diri. Boleh jadi seseorang merasa sudah bebas dari dosa dan maksiat, sudah tidak tergoda lagi oleh niknat duniawi apapun jenisnya, sudah mati-matian sukses dan bangga dengan diri karena mampu dan kuat melawan godaan dunia. Hati-hati dengan persepsi semacam ini, sebab mampu menutupi cahayanya Allah dari diri sendiri. Kekuatan apapun yang kita miliki untuk sukses, apapun keberhasilan, termasuk keberhasilan menjernihkan diri, keberhasilan membersihkan kaca batin, hakikatnya adalah anugerah dari Allah. Maka satu-satunya yang pantas dan layak dilakukan adalah bersyukur alhamdulilahi rabbil alamin dan senantiasa berdzikir la haula wala quwwata illa billahil aliyil adzhim.

Hijab keempat, salah atau sesat orientasi. Orang tersesat kadang-kadang ingin maunya benar tetapi di tengah jalan melenceng. Misalnya amal baik atau sedekah. Kita tekun bersedekah membantu fakir miskin, membantu orang tanpa ada pamrih. Akhirnya oleh Allah rezeki kita dilipatgandakan seperti janjinya dan kita menjadi bertambah kaya. Begitu sadar bahwa Allah melipatgandakan karena rajin bersedekah, sekarang fokusnya bagaimana agar rezeki yang diperoleh melimpah lebih banyak lagi. Terlihat di sini orientasinya dalam bersedekah menjadi berubah, bukan lagi kepada Allah, tetapi agar semakin bertambah harta. 

Dosa dan kemaksiatan, keterikatan duniawi, ego kebanggaan diri mungkin mudah dideteksi karena negatif, tetapi kadang-kadang yang positif membuat kita sesat orientasi. Lupa bahwa arah kita adalah menebarkan cahaya ke sekeliling dan kembali kepada Allah. Jalan yang sejati adalah jalan kembali kepada Allah.

Setelah sukses dengan membersihkan hijab-hijab maka insyaAllah cahayanya Allah akan masuk. Indokator-indokator hadirnya cahaya bagi yang mengalami disebut dengan kasyf atau ma'rifat. Ciri-cirinya antara lain hanya merasakan kegembiraan yang alami (exiciting), tidak ada lagi keluhan-keluhan, tidak lagi komplain dengan situasi hidup, bisa menempuh ujian yang hadir dengan hati yang lapang (oceanic), tergeraknya jiwa (deeply moving) seperti kondisi terharu yang bahagia, terbang melayang yang bahagia (elevating), dan ketenangan batin atau sakinah (calmly). 

Ada beberapa terminal untuk kita dapat menuju cahaya dan yang pertama adalah taubat lalu membersihkan diri yang dilanjutkan dengan mendekat kepada Allah dengan amal baik. Setelah sukses melalui terminal-terminal tersebut insyaAllah akan hadir pencerahan dari Allah yang disebut dengan istilah isyraq atau enlightenment. 

Terakhir, teringat dengan kisah Nabi Yunus yang berada dalam tiga kegelapan. Kegelapan dalam perut ikan, kegelapan di dasar lautan dan kegelapan di malam hari. Dalam kegelapan itu Nabi Yunus memperbanyak dzikir untuk mendekatka. diri kepada Allah dengan lafal Laa ilaha illa anta subhanaka inni kuntu minadzolimin ( Ya Allah tidak ada Tuhan selain Engkau yang Maha Suci, sesungguhnya aku ini termasuk orang-orang dzolim. Lafal ini mengandyng kepasrahan total kepada Allah sekaligus pengakuan atas banyak kedzaliman, kesalahan dan kekeliruan yang dilakukan. Jika Nabi Yunus yang notabene kekasih Allah, lalu bagaimana dengan kita? Yuk senantiasa bertaubat🙇‍♀️😊

Sumber: MJS Channel Ngaji Filsafat





 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menebus Rindu

Dari Tunggal Kembali Manunggal (Hikayat 1001 Malam)

Letting Go: Perasaan dan Kemampuan Menjual